Saturday 5 November 2011

Tahap Penciptaan Manusia dan Garis Takdirnya

Dari Abu 'Abdirrahman Abdullah bin Mas'ud radhiallahu 'anh, dia berkata : bahwa Rasulullah telah bersabda, "Sesungguhnya tiap-tiap kalian dikumpulkan penciptaannya dalam rahim ibunya selama 40 hari berupa nutfah, kemudian menjadi 'Alaqoh (segumpal darah) selama itu juga lalu menjadi Mudhghoh (segumpal daging) selama itu juga, kemudian diutuslah Malaikat untuk meniupkan ruh kepadanya lalu diperintahkan untuk menuliskan 4 kata : Rizki, Ajal, Amal dan Celaka/bahagianya. maka demi Alloh yang tiada Tuhan selainnya, ada seseorang diantara kalian yang mengerjakan amalan ahli surga sehingga tidak ada jarak antara dirinya dan surga kecuali sehasta saja. kemudian ia didahului oleh ketetapan Alloh lalu ia melakukan perbuatan ahli neraka dan ia masuk neraka. Ada diantara kalian yang mengerjakan amalan ahli neraka sehingga tidak ada lagi jarak antara dirinya dan neraka kecuali sehasta saja. kemudian ia didahului oleh ketetapan Alloh lalu ia melakukan perbuatan ahli surga dan ia masuk surga.
Faedah-faedah dari hadits di atas:

1. Fase perkembangan janin didalam rahim
Hadits ini menunjukkan bahwa janin berubah bentuk dalam 120 hari melalui tiga fase. Setiap fase terjadi selama empat puluh hari. Pada empat puluh hari pertama berupa nuthfah (seperma), kemudian empat puluh hari kedua berupa ‘alaqah (segumpal darah yang menggantung), kemudian pada empat puluh hari yang ketiga berupa mudhghah (segumpal daging). Setelah 120 hari malaikat meniupkan ruh dan menuliskan untuknya empat kalimat. Allah ta’ala sungguh telah menyebutkan didalam kitab-Nya tentang perubahan janin pada fase-fase ini. Allah ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنْ كُنْتُمْ فِي رَيْبٍ مِنَ الْبَعْثِ فَإِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ تُرَابٍ ثُمَّ مِنْ نُطْفَةٍ ثُمَّ مِنْ عَلَقَةٍ ثُمَّ مِنْ مُضْغَةٍ مُخَلَّقَةٍ وَغَيْرِ مُخَلَّقَةٍ لِنُبَيِّنَ لَكُمْ وَنُقِرُّ فِي الأرْحَامِ مَا نَشَاءُ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى ثُمَّ نُخْرِجُكُمْ طِفْلا ثُمَّ لِتَبْلُغُوا أَشُدَّكُمْ وَمِنْكُمْ مَنْ يُتَوَفَّى وَمِنْكُمْ مَنْ يُرَدُّ إِلَى أَرْذَلِ الْعُمُرِ لِكَيْلا يَعْلَمَ مِنْ بَعْدِ عِلْمٍ شَيْئًا وَتَرَى الأرْضَ هَامِدَةً فَإِذَا أَنْزَلْنَا عَلَيْهَا الْمَاءَ اهْتَزَّتْ وَرَبَتْ وَأَنْبَتَتْ مِنْ كُلِّ زَوْجٍ بَهِيجٍ
Hai manusia, jika kamu dalam keraguan tentang kebangkitan (dari kubur), Maka (ketahuilah) Sesungguhnya Kami telah menjadikan kamu dari tanah, kemudian dari setetes mani, kemudian dari segumpal darah, kemudian dari segumpal daging yang sempurna kejadiannya dan yang tidak sempurna, agar Kami jelaskan kepada kamu dan Kami tetapkan dalam rahim, apa yang Kami kehendaki sampai waktu yang sudah ditentukan, kemudian Kami keluarkan kamu sebagai bayi, kemudian (dengan berangsur- angsur) kamu sampailah kepada kedewasaan, dan di antara kamu ada yang diwafatkan dan (adapula) di antara kamu yang dipanjangkan umurnya sampai pikun, supaya Dia tidak mengetahui lagi sesuatupun yang dahulunya telah diketahuinya. dan kamu Lihat bumi ini kering, kemudian apabila telah Kami turunkan air di atasnya, hiduplah bumi itu dan suburlah dan menumbuhkan berbagai macam tumbuh-tumbuhan yang indah. (Q.S. Al-hajj : 5)
Allah ta’ala juga berfirman yang artinya:
Dan Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah. Kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim). Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian Kami jadikan Dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha sucilah Allah, Pencipta yang paling baik. (Q.S. Al Mukminun : 12-14)
Pada ayat ini Allah menyebutkan empat fase yang disebutkan dalam hadits dan menambahnya dengan tiga fase yang lain sehingga jadilah tujuh fase. Ibnu Abbas mengatakan, “Bani adam diciptakan pada tujuh fase kemudian ia membaca ayat ini.
2. Ditiupkannya ruh setelah genap empat bulan, hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallhu ‘alaihi wa sallam, “Kemudian diutus kepadanya seorang malaikat lalu dia meniupkan kepadanya ruh”
Dari hal ini dibangun hukum berikut:
• Jika janin gugur setelah ditiupkannya ruh maka ia dimandikan, dikafani, dishalatkan, dikuburkan dipemakaman kaum muslimin, diberi nama dan diakikahi. Hal ini karena ia telah menjadi manusia maka berlaku padanya hukum sebagaimana manusia yang lain.
• Terlarangnya menggugurkan kandungan setelah ditiupkan ruh dalam keadaan apapun. Jika ruh telah ditiupkan maka kandungan tidak boleh digugurkan karena jika ia menggugurkannya berarti telah membunuh janin yang telah menjadi manusia.
3. Ilmu Allah
Sesungguhnya Allah ta’ala mengetahui keadaan makhluknya sebelum para makhluk diciptakan. Tidak akan muncul sedikitpun dari mereka baik berupa iman, ketaatan, kekufuran, kemaksiatan, kebahagian, kecelakaan melainkan Allah telah mengetahuinya dan menghendakinya. Sungguh sangat banyak dalil-dalil yang menyebutkan tentang kitab yang mendahului (penciptaan). Pada shahih bukhari disebutkan hadits dari ‘Ali bin Abi Thalib radiyallahu anhu dari Nabi shallallhu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, ”Tidak ada satu jiwapun yang dilahirkan melainkan Allah pasti telah mencatat tempat kembalinya di surga ataukah di neraka dan melainkan telah ditetapkan celaka atau bahagia. Maka ada seseorang berkata, ”Wahai Rasulullah, apakah kita tinggal diam bersandar pada kitab dan tidak beramal? Lalu Rasulullah shallallhu ‘alaihi wa sallam bersabda, “beramalah karena setiap orang dimudahkan terhadap apa-apa yang telah diciptakan baginya, adapun orang yang bakal bahagia akan dimudahkan untuk melakukan amalan orang yang bahagia dan orang yang bakal celaka akan dimudahkan melakukan amalan orang yang celaka, kemudian beliau membaca,
فَأَمَّا مَنْ أَعْطَى وَاتَّقَى . وَصَدَّقَ بِالْحُسْنَى
Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa. Dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (syurga). (QS Al Lail : 5-6)
Meskipun demikian Ilmu Allah tidaklah menghilangkan adanya ihtiyar dan kehendak hamba, karena ilmu adalah sifat yang tidak memberikan pengaruh. Allah telah memerintahkan makhluk-Nya untuk beriman dan taat, melarang mereka dari kekufuran dan maksiat maka hal ini merupakan bukti bahwa hamba memiliki pilihan dan kehendak terhadap hal-hal yang ia inginkan. Jika tidak demikian tentu perintah dan larangan Allah hanyalah sesuatu yang sia-sia belaka. Allah ta’ala berfirman,
وَنَفْسٍ وَمَا سَوَّاهَا .فَأَلْهَمَهَا فُجُورَهَا وَتَقْوَاهَا .قَدْ أَفْلَحَ مَنْ زَكَّاهَا .وَقَدْ خَابَ مَنْ دَسَّاهَا
Demi jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya). Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu. Dan Sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya. (Q.S. Asy Syams : 7-10)
4. Berhujjah/beralasan dengan takdir
Allah benar-benar telah memerintah kita untuk beriman kepada-Nya dan mentaatinya serta melarang kita dari kekafiran dan maksiat kepada-Nya. Inilah yang kewajiban kita. Apapun yang ditakdirkan Allah bagi kita maka kita tidak mengetahuinya (kecuali setelah terjadinya, pent). Selain itu kita juga tidak akan ditanya tentang hal tersebut. Oleh karena itu orang yang melakukan kesesatan, kekufuran dan kefasikan tidak boleh berhujah dengan takdir, dengan catatan maupun kehendak Allah, kecuali setelah perkara tersebut terjadi. Allah berfirman,
وَقُلِ اعْمَلُوا فَسَيَرَى اللَّهُ عَمَلَكُمْ وَرَسُولُهُ وَالْمُؤْمِنُونَ وَسَتُرَدُّونَ إِلَى عَالِمِ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ
Dan Katakanlah: "Bekerjalah kamu, Maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) yang mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan. (Q.S. At Taubah : 105)
Adapun setelah terjadinya sesutau yang telah ditakdirkan maka dibolehkan berhujah dengan takdir karena seorang mukmin akan mendapatkan ketenangan ketika tunduk terhadap ketetapan Allah. Ketetapan Allah bagi seorang mukmin terjadi dengan semuanya membawa kebaikan, baik hal itu berupa kesenangan maupun kesusahan.
5. Amal itu tergantung akhirnya
Imam bukhari meriwayatkan dari Sahl bin sa’ad dari Nabi shallallhu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, ”Hanyalah amal-amal itu tergantung pada akhirnya.” Maknanya bahwasanya orang yang telah ditetapkan baginya berupa keimanan serta ketaatan pada akhir hidupnya, terkadang pada suatu ketika dia ingkar kepada Allah dan bermaksiat kepadanya, kemudian Allah memberinya taufiq untuk beriman dan mentaati-Nya di masa-masa akhir sebelum berakhir umurnya, lalu ia mati dalam keadaan yang demikian maka ia masuk surga. Adapun orang yang telah ditetapkan baginya kekufuran dan kefasikan pada akhir hidupnya, terkdaang pada suatu ketika ia beriman dan taat, kemudian Allah mentelantarkannya dengan sebab kehendak, usaha serta perbuatan hamba tersebut. Lalu orang tersebut mengucapkan kalimat kekufuran, beramal dengan amalan penduduk neraka dan mati dalam keadaan yang demikian maka ia masuk neraka.
Hendaknya kita tidak tertipu dengan sesutau yang nampak dari manusia karena sesungguhnya yang menjadi ibrah/pelajaran adalah keadaan akhirnya. Kita memohon kepada Allah keteguhan di atas kebenaran dan kebaikan serta husnul khatimah.

Surat Al-Fatihah

Surat Al Fatihah merupakan sebuah surat paling agung di dalam al-Qur’an. Hal itu berdasarkan hadits Abu Sa’id bin Al Mu’alla yang dikeluarkan oleh Al Bukhari (hadits nomor 4474). Surat ini telah mencakup ketiga macam tauhid: tauhid rububiyah, tauhid uluhiyah, dan tauhid asma’ wa shifat. Tauhid rububiyah adalah mengesakan Allah ta’ala dalam perbuatan-perbuatan-Nya, seperti: menciptakan, memberikan rezeki, menghidupkan, mematikan, dan perbuatan-perbuatan Allah ta’ala yang lainnya. Maknanya Allah itu esa dalam perbuatan-perbuatan-Nya, tidak ada sekutu bagi-Nya dalam hal mencipta, menghidupkan dan mematikan makhluk.

Sedangkan tauhid uluhiyah adalah mengesakan Allah subhanahu wa ta’ala dengan perbuatan-perbuatan hamba seperti: dalam hal berdoa, merasa takut, berharap, bertawakal, meminta pertolongan (isti’anah), memohon keselamatan dari cekaman bahaya (istighatsah), menyembelih binatang, dan perbuatan-perbuatan hamba yang lainnya. Maka sudah menjadi kewajiban bagi setiap mereka untuk menjadikan segala ibadah itu ikhlas semata-mata tertuju kepada Allah ‘azza wa jalla sehingga mereka tidak mempersekutukan sesuatupun bersama-Nya dalam hal ibadah. Sebagaimana tiada pencipta kecuali Allah, tiada yang menghidupkan kecuali Allah, tiada yang mematikan kecuali Allah, maka tiada yang berhak disembah kecuali Allah.

Tauhid asma’ wa shifat adalah menetapkan nama dan sifat yang telah ditetapkan sendiri oleh Allah bagi diri-Nya atau ditetapkan oleh Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam bagi diri-Nya tanpa disertai dengan tahrif (penyelewengan makna), ta’wil (penafsiran yang menyimpang), ta’thil (menolak makna atau teksnya), takyif (menegaskan bentuk tertentu dari sifat Allah), tasybih (menyerupakan secara parsial) ataupun tamtsil (menyerupakan secara total). Hal ini sebagaimana ditegaskan di dalam firman Allah ta’ala yang artinya, “Tiada sesuatupun yang serupa dengan-Nya, dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. Asy Syura: 11). Sesungguhnya ayat yang mulia ini merupakan dalil yang sangat jelas tentang kebenaran madzhab Ahlus Sunnah wal Jama’ah dalam mengimani sifat-sifat Allah ‘azza wa jalla yaitu dengan menetapkan sifat serta menyucikan-Nya. Di dalam firman-Nya ‘azza wa jalla, “Dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” terdapat penetapan dua buah nama Allah yaitu As Sami’ (Maha Mendengar) dan Al Bashir (Maha Melihat). Kedua nama ini menunjukkan keberadaan dua sifat Allah yaitu As Sam’u (mendengar) dan Al Bashar (melihat). Sedangkan di dalam firman-Nya ta’ala, “Tiada sesuatupun yang serupa dengan-Nya.” terdapat penyucian Allah ta’ala dari keserupaan diri-Nya dengan makhluk dalam sifat-sifat mereka. Allah subhanahu wa ta’ala mendengar tetapi tidak sebagaimana pendengaran makhluk. Dia juga melihat namun tidak sama seperti penglihatan mereka.

Bahkan ayat pertama yang terdapat dalam surat yang agung ini sudah mencakup ketiga macam tauhid tersebut. Tauhid uluhiyah sudah ditunjukkan keberadaannya dengan firman-Nya, “Alhamdulillah” (Segala puji bagi Allah). Hal itu dikarenakan penyandaran pujian oleh para hamba terhadap Rabb mereka merupakan sebuah bentuk ibadah dan sanjungan kepada-Nya, dan itu merupakan bagian dari perbuatan mereka.

Adapun tauhid rububiyah, ia juga sudah terkandung di dalam firman-Nya ta’ala, “Rabbil ‘alamin.” (Rabb seru sekalian alam). Hal itu disebabkan Allah subhanahu wa ta’ala adalah rabb bagi segala sesuatu, pencipta sekaligus penguasanya. Hal itu sebagaimana difirmankan oleh Allah ‘azza wa jalla, “Hai umat manusia, sembahlah Rabb kalian yang telah menciptakan kalian serta orang-orang sebelum kalian agar kalian bertakwa. Dia lah yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagi kalian dan langit menjadi atap, dan Dia lah yang menurunkan air hujan dari langit kemudian berkat air itu Allah menumbuhkan berbagai buah-buahan sebagai rezeki untuk kalian, maka janganlah kalian menjadikan sekutu-sekutu bagi Allah padahal kalian mengetahui.” (QS. Al Baqarah: 21-22)

Sedangkan tauhid asma’ wa shifat, maka sesungguhnya ayat pertama itu pun telah menyebutkan dua buah nama Allah. Kedua nama itu adalah lafzhul jalalah ‘Allah’ dan Rabb sebagaimana di dalam firman-Nya “Rabbil ‘alamin”. Pada ayat ini kata ‘rabb’ disebutkan dalam bentuk mudhaf (dipadukan dengan kata lain, pen). Sedangkan pada ayat lainnya yang tercantum dalam surat Yasin ia disebutkan secara bersendirian tanpa perpaduan, yaitu dalam firman-Nya, “Salamun qaulan min rabbir rahim” (Semoga keselamatan tercurah dari rabb yang maha penyayang) (QS. Yasin: 58)

Adapun ‘alamin’ adalah segala makhluk selain Allah. Allah subhanahu wa ta’ala dengan dzat-Nya, nama-nama-Nya, sifat-sifat-Nya, maka Dia lah Sang Pencipta. Sedangkan semua selain diri-Nya adalah makhluk. Allah ‘azza wa jalla bercerita tentang kisah Musa dan Fir’aun, “Fir’aun mengatakan, ‘Apa itu rabbul ‘alamin?’ Maka Musa menjawab, ‘Dia adalah rabb penguasa langit, bumi, dan segala sesuatu yang berada di antara keduanya, jika kamu mau jujur meyakininya.’.” (QS. Asy Syu’ara’: 23-24)

‘Ar Rahman Ar Rahim’ (Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang) merupakan dua buah nama Allah yang menunjukkan salah satu sifat Allah yaitu rahmah (kasih sayang). Ar Rahman termasuk kategori nama Allah yang hanya boleh dipakai untuk menyebut Allah. Sedangkan nama Ar Rahim telah disebutkan di dalam al-Qur’an pemakaiannya untuk menyebut selain-Nya. Allah ‘azza wa jalla berfirman tentang sifat Nabi-Nya Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Sungguh telah datang kepada kalian seorang rasul dari kalangan kalian, terasa berat olehnya apa yang menyulitkan kalian, dan dia sangat bersemangat untuk memberikan kebaikan bagi kalian, dan dia sangat lembut dan menyayangi orang-orang yang beriman.” (QS. At Taubah: 128)

Ibnu Katsir mengungkapkan tatkala menjelaskan tafsir basmalah di awal surat Al Fatihah, “Kesimpulan yang dapat dipetik adalah sebagian nama Allah ta’ala ada yang bisa dipakai untuk menamai selain-Nya, dan ada yang hanya boleh dipakai untuk menamai diri-Nya -seperti nama Allah, Ar Rahman, Al Khaliq, Ar Raziq dan sebagainya- .”

‘Maliki yaumid din’ menunjukkan kepada tauhid rububiyah. Allah subhanahu wa ta’ala adalah rabb segala sesuatu dan penguasanya. Seluruh kerajaan langit dan bumi serta apa pun yang berada di antara keduanya adalah milik-Nya. Dia lah Raja yang menguasai dunia dan akhirat. Allah ‘azza wa jalla berfirman, “Milik Allah kerajaan langit dan bumi serta segala sesuatu yang ada di dalamnya, dan Dia Maha menguasai segala sesuatu.” (QS. Al Ma’idah: 120). Allah juga berfirman, “Maha Suci Allah yang di tangan-Nya kerajaan dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS. Al Mulk: 1). Allah berfirman, “Katakanlah; Siapakah yang di tangan-Nya berada kekuasaan atas segala sesuatu, Dia yang melindungi dan tiada yang dapat terlindungi dari siksa-Nya, jika kalian benar-benar mengetahui? Maka mereka akan menjawab, ‘Allah’. Katakanlah; Lantas dari sisi manakah kalian tertipu.” (QS. Al Mu’minun: 88-89)

Yaumid din adalah hari terjadinya pembalasan dan penghitungan amal. Di dalam ayat ini ditegaskan bahwa Allah adalah penguasa pada hari pembalasan -padahal Dia adalah penguasa dunia dan akhirat- dikarenakan pada hari itu semua orang pasti akan tunduk kepada Rabbul ‘alamin. Berbeda dengan situasi yang terjadi di dunia, ketika di dunia masih ada orang yang bisa melampaui batas dan menyombongkan dirinya, bahkan ada pula yang berani mengatakan, “Aku adalah rabb kalian yang paling tinggi.” Dan dia pun lancang mengatakan, “Wahai rakyatku semua, tidaklah aku mengetahui adanya sesembahan bagi kalian selain diri-Ku.”

‘Iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in’ (Hanya kepada-Mu kami beribadah dan hanya kepada-Mu kami meminta pertolongan). Ini menunjukkan tauhid uluhiyah. Penyebutan objek yang didahulukan sebelum dua buah kata kerja tersebut menunjukkan pembatasan. Ia menunjukkan bahwa ibadah tidak boleh dipersembahkan kecuali kepada Allah. Demikian pula meminta pertolongan dalam urusan yang hanya dikuasai oleh Allah juga harus diminta hanya kepada Allah. Kalimat yang pertama menunjukkan bahwasanya seorang muslim harus melaksanakan ibadahnya dengan ikhlas untuk mengharap wajah Allah yang disertai kesesuaian amal dengan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sedangkan kalimat yang kedua menunjukkan bahwa hendaknya seorang muslim tidak meminta pertolongan dalam mengatasi segala urusan agama dan dunianya kecuali kepada Allah ‘azza wa jalla.

‘Ihdinash shirathal mustaqim’ (Tunjukilah kami jalan yang lurus). Ini menunjukkan tauhid uluhiyah, sebab ia merupakan doa. Dan doa termasuk jenis ibadah. Hal ini sebagaimana difirmankan Allah ‘azza wa jalla, “Sesungguhnya masjid-masjid itu adalah milik Allah, maka janganlah kalian menyeru bersama Allah siapapun.” (QS. Al Jin: 18). Doa ini mengandung seagung-agung tuntutan seorang hamba yaitu mendapatkan petunjuk menuju jalan yang lurus. Dengan meniti jalan itulah seseorang akan keluar dari berbagai kegelapan menuju cahaya serta akan menuai keberhasilan dunia dan akhirat. Kebutuhan hamba terhadap petunjuk ini jauh lebih besar daripada kebutuhan dirinya terhadap makanan dan minuman. Karena makanan dan minuman hanyalah bekal untuk menjalani kehidupannya yang fana. Sedangkan petunjuk menuju jalan yang lurus merupakan bekal kehidupannya yang kekal dan abadi. Doa ini juga mengandung permintaan untuk diberikan keteguhan di atas petunjuk yang telah diraih dan juga mengandung permintaan untuk mendapatkan tambahan petunjuk. Allah ‘azza wa jalla berfirman, “Dan orang-orang yang tetap berjalan di atas petunjuk, maka Allah pun akan menambahkan kepada mereka petunjuk dan Allah akan memberikan ketakwaan kepada mereka.” (QS. Muhammad: 17). Allah juga berfirman tentang Ashabul Kahfi, “Sesungguhnya mereka adalah para pemuda yang beriman kepada Rabb mereka, dan Kami pun menambahkan petunjuk kepada mereka.” (QS. Al Kahfi: 13). Allah juga berfirman, “Dan Allah akan menambahkan petunjuk kepada orang-orang yang tetap berjalan di atas petunjuk.” (QS. Maryam: 76)

Petunjuk menuju jalan yang lurus itu akan menuntun kepada jalan orang-orang yang diberikan kenikmatan yaitu para nabi, orang-orang shiddiq, para syuhada’, dan orang-orang salih. Mereka itu adalah orang-orang yang memadukan ilmu dengan amal. Maka seorang hamba memohon kepada Rabbnya untuk melimpahkan hidayah menuju jalan lurus ini yang merupakan sebuah pemuliaan dari Allah kepada para rasul-Nya dan wali-wali-Nya. Dia memohon agar Allah menjauhkan dirinya dari jalan musuh-musuh-Nya yaitu orang-orang yang memiliki ilmu akan tetapi tidak mengamalkannya. Mereka itulah golongan Yahudi yang dimurkai. Demikian juga dia memohon agar Allah menjauhkan dirinya dari jalan orang-orang yang beribadah kepada Allah di atas kebodohan dan kesesatan. Mereka itulah golongan Nasrani yang sesat. Hadits yang menerangkan bahwa orang-orang yang dimurkai itu adalah Yahudi dan orang-orang sesat itu adalah Nasrani dikeluarkan oleh At Tirmidzi (hadits nomor 2954) dan ahli hadits lainnya, silakan lihat takhrij hadits ini di buku Silsilah Ash Shahihah karya Al Albani (hadits nomor 3263), di dalam buku itu disebutkan nama-nama para ulama yang menyatakan keabsahan hadits tersebut.

Ibnu Katsir di dalam kitab tafsirnya ketika membahas firman Allah ta’ala, “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya kebanyakan pendeta dan rahib-rahib benar-benar memakan harta manusia dengan cara yang batil dan memalingkan manusia dari jalan Allah.” (QS. At Taubah: 34) menukilkan ucapan Sufyan bin Uyainah yang mengatakan, “Orang-orang yang rusak di antara orang berilmu di kalangan kita, padanya terdapat keserupaan dengan Yahudi. Dan orang-orang yang rusak di antara para ahli ibadah di kalangan kita, padanya terdapat keserupaan dengan Nasrani.”

Guru kamu Syaikh Muhammad Al Amin Asy Syinqithi mengatakan di dalam kitabnya Adhwa’ul Bayan (1/53), “Orang-orang Yahudi dan Nasrani -meskipun sebenarnya mereka sama-sama sesat dan sama-sama dimurkai- hanya saja kemurkaan itu lebih dikhususkan kepada Yahudi -meskipun orang Nasrani juga termasuk di dalamnya- dikarenakan mereka telah mengenal kebenaran namun justru mengingkarinya, dan secara sengaja melakukan kebatilan. Karena itulah kemurkaan lebih condong dilekatkan kepada mereka. Adapun orang-orang Nasrani adalah orang yang bodoh dan tidak mengetahui kebenaran, sehingga kesesatan merupakan ciri mereka yang lebih menonjol. Meskipun begitu Allah menyatakan bahwa ‘al magdhubi ‘alaihim’ adalah kaum Yahudi melalui firman-Nya ta’ala tentang mereka, “Maka mereka pun kembali dengan menuai kemurkaan di atas kemurkaan.” (QS. Al Baqarah: 90). Demikian pula Allah berfirman mengenai mereka, “Katakanlah; maukah aku kabarkan kepada kalian tentang golongan orang yang balasannya lebih jelek di sisi Allah, yaitu orang-orang yang dilaknati Allah dan dimurkai oleh-Nya.” (QS. Al Ma’idah: 60). Begitu pula firman-Nya, “Sesungguhnya orang-orang yang menjadikan patung sapi itu sebagai sesembahan niscaya akan mendapatkan kemurkaan.” (QS. Al A’raaf : 152). Sedangkan golongan ‘adh dhaalliin’ telah Allah jelaskan bahwa mereka itu adalah kaum Nasrani melalui firman-Nya ta’ala, “Dan janganlah kalian mengikuti hawa nafsu suatu kaum yang telah tersesat, dan mereka pun menyesatkan banyak orang, sungguh mereka telah tersesat dari jalan yang lurus.” (QS. Al Ma’idah: 77)”

Dari penjelasan terdahulu maka jelaslah bahwa surat Al Fatihah mengandung lebih daripada sekedar pembahasan ketiga macam tauhid: tauhid rububiyah, tauhid uluhiyah, dan tauhid asma’ wa shifat. Sebagian ulama ada juga yang membagi tauhid menjadi dua macam: tauhid fil ma’rifah wal itsbat -ia sudah mencakup tauhid rububiyah dan asma’ wa shifat- dan tauhid fi thalab wal qashd yang tidak lain adalah tauhid uluhiyah. Maka tidak ada pertentangan antara pembagian tauhid menjadi dua ataupun tiga. Ibnu Abil ‘Izz Al Hanafi mengatakan di dalam Syarh ‘Aqidah Thahawiyah (hal. 42-43), “Kemudian, tauhid yang diserukan oleh para utusan Allah dan menjadi muatan kitab-kitab suci yang diturunkan-Nya ada dua macam: tauhid dalam hal penetapan dan pengenalan (itsbat wal ma’rifah), dan tauhid dalam hal tuntutan dan keinginan (fi thalab wal qashd). Adapun tauhid yang pertama adalah penetapan hakikat Rabb ta’ala, sifat-sifat-Nya, dan nama-nama-Nya. Tiada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya dalam perkara-perkara itu semua. Hal itu sebagaimana yang diberitakan oleh Allah mengenai dirinya sendiri, dan juga sebagaimana yang diberitakan oleh Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. al-Qur’an telah menjelaskan dengan gamblang mengenai jenis tauhid ini, sebagaimana tercantum di dalam bagian awal surat Al Hadid, Thaha, bagian akhir surat Al Hasyr, bagian awal surat ‘Alif lam mim tanzil’ (As Sajdah), awal surat Ali ‘Imran, seluruh ayat dalam surat Al Ikhlas, dan lain sebagainya. Yang kedua: Tauhid thalab wal qashd, seperti yang terkandung dalam surat Qul ya ayyuhal kafirun, Qul Ya ahlal kitabi ta’aalau ila kalimatin sawaa’in bainana wa bainakum, awal surat Tanzilul Kitab dan bagian akhirnya, awal surat Yunus, pertengahan, dan bagian akhirnya, awal surat Al A’raaf dan bagian akhirnya, dan surat Al An’aam secara keseluruhan. Mayoritas surat-surat al-Qur’an mengandung dua macam tauhid tersebut, bahkan setiap surat dalam al-Qur’an demikian halnya; sebab al-Qur’an itu meliputi pemberitaan tentang Allah, nama-nama-Nya, sifat-sifat-Nya, dan perbuatan-perbuatan-Nya, inilah yang disebut dengan tauhid ilmi khabari. Ia juga berisi tentang dakwah yang mengajak untuk beribadah kepada Allah semata dan tiada sekutu bagi-Nya serta menanggalkan segala bentuk sesembahan selain-Nya, inilah yang disebut tauhid iradi thalabi. Ia juga berisi tentang perintah dan larangan serta kewajiban untuk menaati-Nya, ini merupakan hak-hak tauhid dan penyempurna baginya. Ia juga mengandung berita mengenai pemuliaan yang diberikan bagi orang-orang yang bertauhid, kebaikan yang Allah limpahkan kepada mereka di dunia dan kemuliaan yang akan mereka terima di akhirat, maka itu semua merupakan balasan bagi ketauhidannya. Ia juga berisi berita mengenai para pelaku kesyirikan, siksa yang Allah timpakan kepada mereka sewaktu di dunia dan azab yang harus mereka rasakan di akhirat, maka itu merupakan balasan bagi orang-orang yang meninggalkan tauhid. Dengan demikian seluruh bagian dari al-Qur’an berisi tentang tauhid, hak-haknya, dan balasannya, serta menjelaskan tentang syirik, pelakunya, dan balasan (hukuman) yang diberikan kepada mereka. Maka alhamdulillahi Rabbil ‘alamin adalah tauhid. Ar rahmanir rahim adalah tauhid. Maliki yaumid Din adalah tauhid. Iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in adalah tauhid. Ihdinash shirathal mustaqim adalah tauhid yang mengandung permohonan petunjuk untuk bisa meniti jalan ahli tauhid yang telah mendapatkan anugerah kenikmatan dari Allah, bukan jalan orang-orang yang dimurkai dan juga bukan jalan orang-orang yang sesat; yaitu orang-orang yang memisahkan diri dari tauhid.”

Dikarenakan keagungan kedudukan surat Al Fatihah ini dan ketercakupannya terhadap tauhidullah dalam hal rububiyah-Nya, uluhiyah-Nya, dan asma’ wa shifat-Nya, kandungan permohonan petunjuk meniti jalan yang lurus, dan dikarenakan kebutuhan setiap muslim terhadap petunjuk itu jauh berada di atas kebutuhannya terhadap apapun dan lebih mendesak, maka surat ini pun disyari’atkan untuk dibaca di setiap raka’at shalat. Di dalam Sahih Bukhari (756) dan Muslim (393) dari Ubadah bin Shamit radhiyallahu’anhu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak sah shalat bagi orang yang tidak membaca Fatihatul Kitab.” Di dalam Sahih Muslim (878) dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, “Barangsiapa mengerjakan shalat yang tidak membaca Ummul Qur’an di dalamnya maka shalatnya pincang -tiga kali- yaitu tidak sempurna.” Maka ditanyakan kepada Abu Hurairah, “Kalau kami sedang berada di belakang imam, bagaimana?” Beliau menjawab, “Bacalah untuk diri kalian sendiri, karena sesungguhnya aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Allah ta’ala berfirman : ‘Aku membagi shalat (Al Fatihah) antara Aku dengan hamba-Ku menjadi dua bagian. Dan hamba-Ku akan mendapatkan apa yang dia minta.’ Kalau hamba itu membaca, ‘Alhamdulillahi Rabbil ‘alamin’, maka Allah ta’ala menjawab, ‘Hamba-Ku telah memuji-Ku’. Kalau dia membaca, ‘Ar Rahmanirrahim’ maka Allah ta’ala menjawab, ‘Hamba-Ku menyanjung-Ku’. Kalau ia membaca, ‘Maliki yaumid din’ maka Allah berfirman, ‘Hamba-Ku mengagungkan Aku’. Kemudian Allah mengatakan, ‘Hamba-Ku telah pasrah kepada-Ku’. Kalau ia membaca, ‘Iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in’ maka Allah menjawab, ‘Inilah bagian untuk-Ku dan bagian untuk hamba-Ku. Dan hamba-Ku pasti akan mendapatkan permintaannya.’. dan kalau dia membaca, ‘Ihdinash shirathal mustaqim, shirathalladziina an’amta ‘alaihim ghairil maghdhubi ‘alaihim wa ladh dhaalliin” maka Allah berfirman, ‘Inilah hak hamba-Ku dan dia akan mendapatkan apa yang dimintanya.’.”

Makna dari firman Allah di dalam hadits qudsi ini, “Kalau ia membaca, ‘Iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in’ maka Allah menjawab, ‘Inilah bagian untuk-Ku dan bagian untuk hamba-Ku. Dan hamba-Ku pasti akan mendapatkan permintaannya.” ialah: kalimat yang pertama yaitu ‘Iyyaka na’budu’ mencakup ibadah, dan itu merupakan hak Allah. sedangkan kalimat yang kedua (yaitu wa iyyaka nasta’in, pen) mengandung permintaan hamba untuk memperoleh pertolongan dari Allah dan menunjukkan bahwa Allah berkenan memberikan kemuliaan baginya dengan mengabulkan permintaannya.

Guru kami Muhammad Al Amin Asy Syinqithi mengambil kesimpulan hukum dari surat Al Fatihah ini untuk menetapkan keabsahan kekhilafahan Abu Bakar Ash Shiddiq radhiyallahu ‘anhu. Beliau mengatakan di dalam kitabnya Adhwa’ul Bayan (1/51), “Dari ayat yang mulia ini diambil kesimpulan mengenai keabsahan kepemimpinan Abu Bakar Ash Shiddiq radhiyallahu ‘anhu. Hal itu dikarenakan beliau termasuk golongan orang yang disebut di dalam As Sab’ul Matsani dan Al-Qur’an Al ‘Azhim -yaitu dalam surat Al Fatihah- yang Allah perintahkan kita untuk meminta petunjuk kepada-Nya agar bisa meniti jalan mereka. Maka hal itu menunjukkan bahwa jalan mereka adalah jalan yang lurus. Hal itu sebagaimana disinggung dalam ayat-Nya, “Ihdinash shirathal mustaqim. Shirathalladzina an’amta ‘alaihim.” Allah telah menerangkan siapa saja golongan orang yang diberikan kenikmatan itu, dan di antara mereka adalah orang-orang shiddiq. Sementara beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga telah menjelaskan bahwa Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu termasuk kategori orang-orang shiddiq. Dengan demikian jelaslah bahwa beliau pun termasuk dalam golongan orang-orang yang diberi kenikmatan oleh Allah itu, itulah isi perintah Allah kepada kita yaitu memohon petunjuk agar bisa berjalan di atas jalan mereka, sehingga tidak lagi tersisa sedikit pun kesamaran bahwa Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu benar-benar berada di atas jalan yang lurus, dan hal itu juga menunjukkan bahwa kepemimpinan beliau adalah sah.”

***

Penulis: Syaikh Abdul Mushin Al ‘Abbad dari kitab ‘Min Kunuz al-Qur’an’ hal. 1-6
Penerjemah: Abu Mushlih Ari Wahyudi
Muraja’ah Terjemahan: Ustadz Aris Munandar

Hal-Hal Yang Disunahkan Ketika Berwudhu

- Disunnahkan bagi setiap muslim menggosok gigi (bersiwak) sebelum memulai wudhunya, karena Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam bersabda : "Sekiranya aku tidak memberatkan umatku, niscaya aku perintah mereka bersiwak (menggosok gigi) setiap kali akan berwudhu." [Riwayat Ahmad dan dishahihkan oleh Al Albani dalam Al Irwa' (70)]


- Disunnahkan pula mencuci kedua telapak tangan tiga kali sebelum berwudhu, sebagaimana disebutkan di atas, kecuali jika setelah bangun tidur, maka hukumnya wajib mencucinya tiga kali sebelum berwudhu. Sebab, boleh jadi kedua tangannya telah menyentuh kotoran di waktu tidurnya sedangkan ia tidak merasakannya. Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam bersabda: "Apabila seorang di antara kamu bangun tidur, maka hendaknya tidak mencelupkan kedua tangannya di dalam bejana air sebelum mencucinya terlebih dahulu tiga kali, karena sesungguhnya ia tidak mengetahui di mana tangannya berada (ketika ia tidur)." [Riwayat Muslim]
- Disunnahkan bagi orang muslim mencelah-celahi jenggot jika tebal ketika membasuh muka.
- Disunnahkan bagi orang muslim mencelah-celahi jari-jari tangan dan kaki di saat mencucinya, karena Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam bersabda: "Celah-celahilah jari- jemari kamu". [Riwayat Abu Daud dan dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahih Abi Dawud (629)]
- Mencuci anggota wudhu yang kanan terlebih dahulu sebelum mencuci anggota wudhu yang kiri. Mencuci tangan kanan terlebih dahulu kemudian tangan kiri, dan begitu pula mencuci kaki kanan sebelum mencuci kaki kiri.
- Mencuci anggota-anggota wudhu dua atau tiga kali dan tidak boleh lebih dari itu. Namun kepala cukup diusap tidak lebih dari satu kali usapan saja.
- Tidak berlebih-lebihan dalam pemakaian air, karena Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam berwudhu dengan mencuci tiga kali, lalu bersabda : "Barangsiapa mencuci lebih (dari tiga kali) maka ia telah berbuat kesalahan dan kezhaliman". [Riwayat Abu Daud dan dishahihkan oleh Al Albani dalam Al Irwa' (117)]

Tersenyumlah Wahai Ahli Sunnah

Sesungguhnya deraan ujian adalah sesuatu yang mesti dihadapi oleh semua insan yang telah menyatakan dirinya beriman. Karena dengan ujian itulah akan menjadi jelas; siapa yang jujur dan siapa yang dusta. Dengan ujian tersebut akan terlihat kualitas keimanan seorang hamba.

Namun ujian yang datang silih berganti, cobaan yang mendera tak kenal henti, terkadang membuat banyak orang berjatuhan dijalan kebenaran yang seharusnya ditempuh sampai mati. Tekad yang telah dibulatkan untuk meniti jejak generasi pilihan, langkah yang sudah mulai diayunkan untuk menapaki jalan yang diridhai oleh Ar Rahmaan, tidak jarang kandas ditengah jalan karena tak kuasa menahan pahit-getirnya perjuangan.

Oleh karena itu, goresan pena yang sederhana ini sengaja kutulis. ku haturkan…

Kepada anda yang belum lama merasakan manisnya meretas jalan kebenaran…



Kepada anda yang baru saja mulai mengayunkan langkah dibawah naungan hidayah dengan berbekal keikhlasan…

Kepada anda yang telah berpatri hati untuk meniti jalan manusia pilihan…

Kepada anda yang tengah merasakan pahitnya keterasingan ditengah-tengah masyarakat yang telah jauh dari bimbingan kenabian…

Kuhaturkan beberapa kalimat yang sederhana ini, dengan membawa setangkai harapan… semoga ini bisa meringankan bebanmu, lebih memantapkan langkahmu untuk terus maju menggapai keridhoan Rabbmu dan menghilangkan semua kegundahanmu. Bahkan lebih dari itu, semoga dengan ini, semua kesedihan akan menjelma menjadi sikap optimis dan rasa gembira, sebagai ungkapan syukur kepada Allah Yang Maha Agung lagi Maha Mulia. Selanjutnya, mudah-mudahan bisa lahir keceriaan dihatimu dan tersimpul senyuman manis diwajahmu...

Ya! Tersenyumlah wahai saudaraku, wahai pembawa obor kebenaran ditengah gulita kebatilan!!

Allah I mengingatkan:

قُلْ بِفَضْلِ اللَّهِ وَبِرَحْمَتِهِ فَبِذَلِكَ فَلْيَفْرَحُوا هُوَ خَيْرٌ مِمَّا يَجْمَعُون

"Katakanlah: "Dengan karunia Allah jua dan dengan kasih-sayang-Nya-lah, dengan yang demikian itu hendaknya mereka bergembira! Itu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan". QS. Yunus: 58.

a. Engkau adalah Orang Mulia, Meskipun Banyak Yang menghinakanmu!

Saudaraku! Kita sekarang dizaman akhir. Masa kenabian telah lama berlalu meninggalkan kita. Kurang lebih dari 14 abad yang lalu Rasulullah r telah dipanggil oleh Allah I untuk menyusul kawan-kawannya yang mulia; dari kalangan para nabi, shiddiqin, syuhadaa' dan orang-orang yang shaleh.

Coba perhatikan air sungai yang mengalir menuju sebuah muara! Seiring dengan semakin jauhnya ia dari sumber mata airnya maka semakin keruh dan kotor pula keadaannya. Demikianlah kira-kira keadaan Islam yang diamalkan oleh mayoritas kaum muslimin saat ini. Banyak sudah sampah-sampah idiologi yang disusupkan kepadanya dan bid'ah yang dianggap sebagai bagian darinya… Hal ini membuat orang yang tidak memiliki pijakan yang kokoh dalam beragama dengan mudah ikut hanyut dibawa aliran air sampah tersebut.

Namun, kendati demikian, seorang muslim tidak patut bersedih hati. Disana masih ada kawasan air jernih yang masih terjaga dan belum terjamah oleh kotoran apapun. Air pada kawasan tersebut sangat bersih dan bening, sehingga sedikit saja kotoran yang masuk ke dalamnya dengan mudah dapat dikenali dan disingkirkan. Ketahuilah, sesugguhnya Allah I telah menjamin terpeliharanya kebenaran sampai saat datangnya angin yang berhembus lembut menjelang hari kiamat nanti, –yang dengan izin Allah I- angin tersebut akan merenggut jiwa semua orang beriman yang disentuhnya.

Rasulullah r bersabda:

لا تزال طائفة من أمتي ظاهرين على الحق لا يضرهم من خذلهم حتى يأتي أمر الله وهم كذلك

"Akan senantiasa ada sekelompok orang dari umatku yang menang diatas kebenaran; tidak membahayakan mereka orang yang menghinakan mereka sampai datang keputusan Allah I, sementara mereka dalam keadaan demikian"[1].

Para pengemban Sunnah Nabi r yang suci akan senantiasa memperoleh pertolongan dari Allah I sehingga mereka akan senantiasa dimenangkan atas musuh-musuh mereka sampai datang keputusan dari Allah I, yaitu hari kiamat. Hari kiamat yang dimaksud disini adalah hari kiamat yang khusus bagi mereka, bukan hari kiamat saat hancurnya alam semesta, karena itu tidak akan terjadi melainkan pada seburuk-buruknya manusia. Baginda Rasul r bersabda:

لا تقوم الساعة حتى لا يقال في الأرض الله الله

"Tidak akan tegak hari kiamat sampai tidak terdengar lagi orang yang menyebut: "Allah…Allah…" diatas permukaan bumi".[2]

Imam al Hakim rahimahullah telah meriwayatkan sebuah hadits dari jalan 'Abdullah bin 'Amr bin al 'Ash t bahwasanya ia berkata:

ثم يبعث الله ريحا ريحها ريح المسك و مسها مس الحرير فلا تترك نفسا في قلبه مثقال حبة من الإيمان إلا قبضته ثم يبقى شرار الناس عليهم تقوم الساعة

"Kemudian Allah I akan mengirim angin yang berhembus; aromanya seperti aroma misk[3] dan sentuhannya seperti sentuhan sutera. Angin tersebut tidak membiarkan satu jiwa pun yang dihatinya terdapat keimanan sebesar biji dzarrah melainkan direnggutnya. Kemudian yang tersisa adalah seburuk-buruknya manusia. Pada merekalah hari kiamat akan terjadi".[4]. [5]

Sungguh, hadits ini ibarat tetesan embun dipagi hari yang membasahi hati semua orang beriman… ia laksana segelas air dingin ketika dahaga menyapa… atau bagaikan secercah cahaya disaat gulita semakin pekat dan mencekam… seorang mukmin yang mendengarnya pasti akan memanjatkan syukur yang sebanyak-banyaknya kepada Allah I.

Betapa tidak! Ini adalah salah satu nikmat terbesar yang Allah I anugerahkan kepada umat ini. Allah I tidak membiarkan mereka semuanya linglung ditengah-tengah belantara kesesatan tanpa ada bimbingan… Atau kebingungan dalam gulita kerusakan tanpa ada yang mengarahkan… Sesungguhnya Allah I telah memutuskan akan adanya para pembawa lentera kebenaran yang menerangi jalan cinta dan keridhoan-Nya bagi siapa saja yang ingin menitinya, sampai hari kiamat nanti.

Saudaraku, bila engkau komitmen dengan Sunnah Nabi r, sungguh, engkau adalah salah seorang pembawa lentera tersebut! Engkau senantiasa akan berjaya dengan kebenaran yang engkau bawa, meskipun banyak orang yang menghinakanmu...

b. Engkaulah Saudara Rasulullah r yang Dirindukannya!

Zaman kita sekarang adalah zaman keterasingan. Islam yang murni sebagaimana yang ada dimasa kenabian sudah tak banyak yang mengenalnya. Kemungkaran telah dianggap sebagai kebaikan, bid'ah telah dianggap sebagai sunnah, bahkan kesyirikan telah dijadikan sebesar-besarnya ketaatan pada sebagian kalangan. Demi Allah, ini benar-benar fitnah[6] dan kerusakan yang nyata!!

Fitnah dan kerusakan yang menimpa umat Islam saat ini, sebenarnya, semenjak 14 abad yang silam telah dikabarkan dan diwanti-wanti oleh Rasulullah r. Hal ini terlihat jelas dalam atsar yang diriwayatkan secara mauquuf[7] dengan jalan shahih dari 'Abdullah bin Mas'ud t. Suatu ketika Ibnu Mas'ud t berkata:

كيف أنتم إذا لبستكم فتنة يهرم فيها الكبير ، ويربو فيها الصغير ، ويتخذها الناس سنة ، إذا منها شيء قيل : تركت السنة ؟ قالوا : ومتى ذاك ؟ قال : إذا ذهبت علماؤكم ، وكثرت قُراؤكم ، وقَلَّت فقهاؤكم ، وكَثُرت أمراؤكم ، وقلَّتْ أمناؤكم ، والتُمِسَتِ الدنيا بعمل الآخرة ، وتُفُقهَ لغير الدين

"Bagaimana keadaan kalian saat fitnah[8] datang menimpa; orang dewasa menjadi renta padanya, anak-anak tumbuh-berkembang didalamnya, dan orang-orang pun menjadikannya sebagai sunnah. Bila fitnah itu dirubah sedikit saja, maka orang-orang akan mengatakan: "Sunnah telah ditinggalkan".

Seseorang bertanya: "Kapan itu akan terjadi?".

Ibnu Mas'ud t menjawab: "Bila para ulama kalian telah tiada, semakin menjamur para qari' ditengah-tengah kalian, semakin sedikit ahli fiqh, semakin banyak orang yang memerintah namun semakin sedikit para pemegang amanah, serta dunia telah dikejar dengan amalan akhirat dan orang-orang sibuk memperdalam ilmu selain ilmu agama".[9]

Dalam Risaalah fiy Qiyaam Ramadhan, setelah membawakan atsar ini, al Haafizh al Albaani rahimahullah berkomentar: "Hadits ini merupakan salah satu tanda kenabian Nabi r dan kebenaran risalah yang beliau bawa; karena sesugguhnya tiap-tiap point yang ada padanya benar-benar terjadi pada zaman kita sekarang. Diantaranya adalah bertebarannya bid'ah dan orang-orang terfitnah dengannya hingga mereka pun menganggapnya sebagai sunnah dan menjadikannya sebagai suatu agama yang diikuti".[10]

Subhaanallaah! Memang demikianlah kondisi kita sekarang! Maka wajarlah bila seorang yang berusaha untuk mengamalkan sunnah saat ini akan menghadapi berbagai ujian dan cobaan…

Saudaraku, hal ini memang sulit dan butuh perjuangan!! Namun, ini tidak perlu membuat kita hanyut dalam kesedihan yang tak berkesudahan.

Kenapa harus bersedih?!

Bila anda adalah orang yang komitmen dengan Sunnah Rasulullah r maka -demi Allah- anda adalah orang mulia lagi terhormat!! Anda adalah saudara Rasulullah r!!

Dengarkanlah apa yang disampaikan oleh sahabat yang mulia, Abu Hurairah t berikut ini!

Abu Hurairah t menuturkan: " Nabi r pernah memasuki areal pekuburan lantas beliau berucap: "Salam 'alaikum wahai (penghuni) negeri orang-orang beriman! Kami pun –insya' Allah- suatu saat akan menyusul kalian. Duhai, alangkah rindunya hati ini untuk melihat saudara-saudaraku".

Para sahabat pun bertanya: "Ya Rasulullah! Bukankah kami adalah saudara-saudaramu?".

Rasulullah r menjawab:

أنتم أصحابي, وإخواننا الذين لم يأتوا بعد

"Kalian adalah sahabat-sahabatku, sedangkan saudara-saudaraku adalah orang-orang yang belum kunjung datang sampai saat ini".

Para sahabat bertanya: "Bagaimana engkau mengenal orang yang belum datang dari umatmu ya Rasulullah r?".

Nabi r menjawab: "Bagaimana pendapatmu sekiranya seorang memiiliki seekor kuda yang berbulu putih pada jidat dan kaki-kakinya ditengah-tengah sekawanan kuda yang hitam legam warnanya, bukankah dengan mudah ia akan mengenali kudanya?".

Para sahabat menjawab: "Benar ya Rasulullah!".

Rasulullah r melanjutkan: "Sesungguhnya umatku akan datang pada hari kiamat nanti dalam keadaan bercahaya putih pada jidat, kaki dan tangan mereka karena (bekas air) wudhu' sementara aku telah menanti mereka ditelaga. Ketahuilah! Sesungguhnya akan ada beberapa orang yang kebingungan mencari telagaku sebagaimana bingungnya onta yang tersesat, lantas aku memanggil-manggil mereka: "Marilah kesini!", namun kemudian ada yang mengatakan: "Sesungguhnya mereka telah merubah (agama mereka) setelah engkau tiada", maka aku pun berkata: "Enyahlah kalian dariku!! Enyahlah kalian dariku!!".[11]

Apa pedulinya seorang muslim, sekiranya banyak orang menghinakannya, bilamana ia dimuliakan oleh Allah I dan Rasul-Nya r?

Apa pedulinya seorang muslim, sekiranya orang-orang dekatnya tega memutuskan tali persaudaraan dengannya hanya karena ia komitmen dengan sunnah Nabi r, bilamana ia menjadi saudara bagi manusia termulia, Muhammad bin 'Abdillah r?!

Apa pedulinya seorang muslim, sekiranya ia memang harus terusir dari masyarakatnya karena mempertahankan agamanya, bilamana ia didekatkan disisi Rasulullah r diakhirat kelak?!

Sungguh, ia akan didekatkan ke telaga Rasul r dan minum darinya; yang satu tegukan darinya akan membebaskannya dari dahaga untuk selamanya. Sebaliknya, orang yang mencampakkan Sunnah dan menolaknya akan terhalangi dari telaga tersebut, bahkan akan diusir oleh pemilik telaga, baginda Rasul, Muhammad r!

Kepada Allah jua kita berlindung dan memohonkan keselamatan!!

c. Bagimu Pahala Seperti Pahalanya 10 Orang Sahabat!

Lingkungan sekitar sangat berpengaruh pada keteguhan seseorang dalam menjalankan ajaran agamanya. Seorang yang tinggal di lingkungan yang baik biasanya lebih mudah untuk beramal Shalih dibanding orang yang tinggal di lingkungan yang rusak. Namun, bagi anda yang terpaksa harus tinggal pada lingkungan yang buruk, selagi anda masih bisa beramal shalih, apalagi menjadi pintu kebaikan bagi orang lain, maka tetap bersabar dan terus berda'wah adalah yang jalan yang terbaik bagi anda! –insya' Allah-. Karena sesungguhnya seorang mu'min yang berbaur dengan masyarakat dan bersabar terhadap gangguan mereka lebih baik daripada seorang mu'min yang tidak berbaur dengan masyarakat dan tidak sabar terhadap gangguan mereka[12].

Bila memang demikian keadaannya, maka sering-seringlah engkau hadirkan dalam hatimu bahwa ganjaran pahala yang besar disisi Allah I telah menantimu! Sesungguhnya besarnya pahala yang akan diperoleh sesuai dengan jerih-payah yang didapatkan dalam mengamalkan kebaikan!

Abu Umayyah asy Sya'baaniy bercerita: "Aku pernah bertanya kepada Abu Tsa'labah al Khusyaniy. Aku berkata: "Wahai Abu Tsa'labah, bagaimana pendapatmu mengenai ayat ini:[13]

عَلَيْكُمْ أَنْفُسَكُمْ

"…jagalah dirimu…"[14].

Abu Tsa'labah t pun menjawab: "Ketahuilah sesungguhnya aku telah bertanya mengenai ayat ini kepada seorang yang benar-benar memahaminya; aku telah bertanya kepada Rasulullah r, lantas beliau bersabda:

« بَلِ ائْتَمِرُوا بِالْمَعْرُوفِ وَتَنَاهَوْا عَنِ الْمُنْكَرِ حَتَّى إِذَا رَأَيْتَ شُحًّا مُطَاعًا وَهَوًى مُتَّبَعًا وَدُنْيَا مُؤْثَرَةً وَإِعْجَابَ كُلِّ ذِى رَأْىٍ بِرَأْيِهِ فَعَلَيْكَ - يَعْنِى بِنَفْسِكَ - وَدَعْ عَنْكَ الْعَوَامَّ فَإِنَّ مِنْ وَرَائِكُمْ أَيَّامَ الصَّبْرِ الصَّبْرُ فِيهِ مِثْلُ قَبْضٍ عَلَى الْجَمْرِ لِلْعَامِلِ فِيهِمْ مِثْلُ أَجْرِ خَمْسِينَ رَجُلاً يَعْمَلُونَ مِثْلَ عَمَلِهِ ».

وَزَادَنِى غَيْرُهُ قَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَجْرُ خَمْسِينَ مِنْهُمْ قَالَ « أَجْرُ خَمْسِينَ مِنْكُمْ ».

"Justru sebaliknya! Hendaklah kalian saling memerintahkan kepada kebaikan dan saling melarang dari kemungkaran!! Sampai bilamana kalian telah melihat sifat kikir yang diikuti, nafsu durjana yang diperturutkan, gelamor dunia yang diutamakan serta masing-masing orang merasa bangga dengan pendapatnya, maka jagalah dirimu sendiri dan tinggalkanlah mayoritas orang yang ada, karena sesungguhnya dibelakang kalian nanti akan datang hari-hari kesabaran; pada saat itu (orang yang komitmen diatas Sunnah) bagaikan (orang yang) menggenggam bara api. Orang yang mengamalkan (kebaikan) pada mereka (akan diberi ganjaran pahala) sebagaimana ganjaran pahala lima puluh orang yang mengamalkan (kebaikan) seperti amalannya".

Dalam riwayat yang lain terdapat tambahan: "Seorang sahabat bertanya: "Ya Rasulullah! Ganjaran pahala lima puluh orang dari mereka?". Rasulullah r menjawab: "Ganjaran pahala lima puluh orang dari kalian". [15]

Allahu akbar! Sungguh beruntung dirimu –saudaraku-… Teruslah maju, amalkan dan serukan Sunnah Nabimu! Angkatlah wajahmu, tataplah ke depan dan ayunkan langkahmu dengan penuh percaya diri untuk menggapai cinta dan keridhaan Allah I!!!

akhirnya, semoga shalawat dan salam selalu terlimpahkan kepada Nabi kita, Muhammad r, beserta keluarga dan segenap sahabatnya.



[1] HR. Muslim (1920).

[2] HR. Muslim (148).

[3] Konon, misk adalah minyak wangi yang sangat harum semerbak; terbuat dari air sperma kijang yang terkumpul ketika ia akan menggauli kijang betina. Tampaknya inilah yang disimyalir oleh Al Mutanabbi dalam ucapannya:

فإن تَفُقِ الأنامَ وأنت منهم فإن المسك بعض دم الغزال

"Sekalipun engkau bisa mengungguli manusia, engkau adalah bagian dari mereka!

Sesungguhnya minyak misk adalah sebagian darahnya kijang".

(perkataan al Mutanabbi ini disebutkan dalam 'Aruus al Afraah (3/216) dan 'Uquud al Jimaan karya as Suyuthiy (72)).

[4] HR. al Hakim dalam Mustadraknya (8409) dan Ibnu Hibban (6839).

[5] Lihat syarh al 'Aqidah al Wasithiyyah karya syeikh al Fauzaan, hal: 6 (dalam maktabah syamilah).

[6] Makna fitnah yang kami maksudkan disini adalah penyimpangan dalam agama Allah I.

[7] Walaupun atsar ini adalah atsar yang muaquuf pada Ibnu Mas'ud t, akan tetapi maknanya marfu' sampai kepada Nabi r. Karena Ibnu Mas'ud t tidak mengetahui perkara ghaib; ia tidak mungkin mengabarkan tentang sesuatu yang akan terjadi melainkan dengan jalan wahyu yang ia dengar dari Rasulullah r.

[8] Yakni bid'ah dan penyimpangan dalam agama yang telah menjadi sesuatu yang sangat lumrah dilakukan oleh kaum muslimin. Bahkan telah dianggap sebagai suatu agama yang tidak boleh diusik kredibilitasnya.

[9] HR. al Hakim dalam mustadraknya (8570), ad Darimi dalam sunannya (185-186) dan al Baihaqiy dalam syu'ab al imaan (6951). Mereka meriwayatkan atsar ini dengan beberapa perbedaan lafazh. Adapun yang kami cantumkan disini adalah lafazh yang kami nukil dari Risaalah fiy Qiyaam Ramadhaan karya al Haafizh al-albaaniy rahimahullah.

[10] Risaalah fiy qiyaam Ramadhaan: hal 2 dalam maktabah syamilah.

[11] HR. Muslim (249), Ahmad (7980), Ibnu Majah (4306), Ibnu Hibban (1046), an Nasaa-I (150) dan lain-lain.

[12] Ini adalah makna hadits yang diriwayatkan oleh al Bukhariy dalam al Adab al Mufrad (388), Ahmad dalam musnad nya (5022), Ibnu Majah (4032), at Tirmidziy (2507), dan lain-lain.

[13] Tampaknya Abu Umayyah memahami bahwa maksud ayat ini adalah; seyogyanya seorang muslim sibuk membenahi kekurangan dirinya dan tidak perlu sibuk mengurusi dan mendakwahi orang lain.

[14] Ayat ini secara lengkap adalah sebagai berikut:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا عَلَيْكُمْ أَنْفُسَكُمْ لَا يَضُرُّكُمْ مَنْ ضَلَّ إِذَا اهْتَدَيْتُمْ إِلَى اللَّهِ مَرْجِعُكُمْ جَمِيعًا فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ

"Hai orang-orang yang beriman, jagalah diri kalian; tiadalah orang yang sesat itu akan memberi mudharat kepadamu apabila kamu telah mendapat petunjuk. Hanya kepada Allah kamu kembali semuanya, maka Dia akan menerangkan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan". QS. Al Maa-idah: 105.

[15] HR. Abu Dawud (4343).

Keutamaan Sholat Tahajud

Shalat malam, bila shalat tersebut dikerjakan sesudah tidur, dinamakan shalat Tahajud, artinya terbangun malam. Jadi, kalau mau mengerjakansholat Tahajud, harus tidur dulu. Shalat malam ( Tahajud ) adalah kebiasaan orang-orang shaleh yang hatinya selalu berdampingan denganAllah SWT.

Berfirman Allah SWT di dalam Al-Qur’an :
“ Pada malam hari, hendaklah engkau shalat Tahajud sebagai tambahan bagi engkau. Mudah-mudahan Tuhan mengangkat engkau ketempat yang terpuji.”
(QS : Al-Isro’ : 79)

Shalat Tahajud adalah shalat yang diwajibkan kepada Nabi SAW sebelum turun perintah shalat wajib lima waktu. Sekarang shalat Tahajud merupakan shalat yang sangat dianjurkan untuk dilaksanakan .

Sahabat Abdullah bin
Salam mengatakan, bahwa Nabi SAW telah bersabda :
“ Hai sekalian manusia, sebarluaskanlah salam dan berikanlah makanan serta sholat malamlah diwaktu manusia sedang tidur, supaya kamu masuk Sorga dengan selamat.”(HR Tirmidzi)

Bersabda Nabi Muhammad SAW :
“Seutama-utama shalat sesudah shalat fardhu ialah shalat sunnat di waktu malam” ( HR. Muslim )

Waktu Untuk Melaksanakan Sholat Tahajud :
Kapan afdhalnya shalat Tahajud dilaksanakan ? Sebetulnya waktu untuk melaksanakan shalat Tahajud ( Shalatul Lail ) ditetapkan sejak waktu Isya’ hingga waktu subuh ( sepanjang malam ). Meskipun demikian, ada waktu-waktu yang utama, yaitu :
1. Sangat utama : 1/3 malam pertama ( Ba’da Isya – 22.00 )
2. Lebih utama : 1/3 malam kedua ( pukul 22.00 – 01.00 )
3. Paling utama : 1/3 malam terakhir ( pukul 01.00 – Subuh )

Menurut keterangan yang sahih, saat ijabah (dikabulkannya do’a) itu adalah 1/3 malam yang terakhir. Abu Muslim bertanya kepada sahabat Abu Dzar : “ Diwaktu manakah yang lebih utama kita mengerjakan sholat malam?”
Sahabat Abu Dzar menjawab : “Aku telah bertanya kepada Rosulullah SAW sebagaimana engkau tanyakan kepadaku ini.” Rosulullah SAW bersabda :
“Perut malam yang masih tinggal adalah 1/3 yang akhir. Sayangnya sedikit sekali orang yang melaksanakannya.” (HR Ahmad)

Bersabda Rosulullah SAW :
“ Sesungguhnya pada waktu malam ada satu saat ( waktu. ). Seandainya seorang Muslim meminta suatu kebaikan didunia maupun diakhirat kepada Allah SWT, niscaya Allah SWT akan memberinya. Dan itu berlaku setiap malam.” ( HR Muslim )

Nabi SAW bersabda lagi :
“Pada tiap malam Tuhan kami Tabaraka wa Ta’ala turun ( ke langit dunia ) ketika tinggal sepertiga malam yang akhir. Ia berfirman : “ Barang siapa yang menyeru-Ku, akan Aku perkenankan seruannya. Barang siapa yang meminta kepada-Ku, Aku perkenankan permintaanya. Dan barang siapa meminta ampunan kepada-Ku, Aku ampuni dia.” ( HR Bukhari dan Muslim )

Jumlah Raka’at Shalat Tahajud :
Shalat malam (Tahajud) tidak dibatasi jumlahnya, tetapi paling sedikit 2 ( dua ) raka’at. Yang paling utama kita kekalkan adalah 11 ( sebelas ) raka’at atau 13 ( tiga belas ) raka’at, dengan 2 ( dua ) raka’at shalat Iftitah. Cara (Kaifiat) mengerjakannya yang baik adalah setiap 2 ( dua ) rakaat diakhiri satu salam. Sebagaimana diterangkan oleh Rosulullah SAW :“ Shalat malam itu, dua-dua.” ( HR Ahmad, Bukhari dan Muslim )

Adapun Kaifiat yang diterangkan oleh Sahabat Said Ibnu Yazid, bahwasannya Nabi Muhammad SAW shalat malam 13 raka’at, sebagai berikut :
1) 2 raka’at shalat Iftitah.
2) 8 raka’at shalat Tahajud.
3) 3 raka’at shalat witir.

Adapun surat yang dibaca dalam shalat Tahajud pada raka’at pertama setelah surat Al-Fatihah ialah Surat Al-Baqarah ayat 284-286. Sedangkan pada raka’at kedua setelah membaca surat Al-Fatihah ialah surat Ali Imron 18-19 dan 26-27. Kalau surat-surat tersebut belum hafal, maka boleh membaca surat yang lain yang sudah dihafal.Rasulullah SAW bersabda :
“Allah menyayangi seorang laki-laki yang bangun untuk shalat malam, lalu membangunkan istrinya. Jika tidak mau bangun, maka percikkan kepada wajahnya dengan air. Demikian pula Allah menyayangi perempuan yang bangun untuk shalat malam, juga membangunkan suaminya. Jika menolak, mukanya
disiram air.” (HR Abu Daud)

Bersabda Nabi SAW :
“Jika suami membangunkan istrinya untuk shalat malam hingga
keduanya shalat dua raka’at, maka tercatat keduanya dalam golongan (perempuan/laki-laki) yang selalu berdzikir.”(HR Abu Daud)

Keutamaan Shalat Tahajud :
Tentang keutamaan shalat Tahajud tersebut, Rasulullah SAW suatu hari bersabda : “Barang siapa mengerjakan shalat Tahajud dengan
sebaik-baiknya, dan dengan tata tertib yang rapi, maka Allah SWT akan memberikan 9 macam kemuliaan : 5 macam di dunia dan 4 macam di akhirat.”
Adapun lima keutamaan didunia itu, ialah :
1. Akan dipelihara oleh Allah SWT dari segala macam bencana.
2. Tanda ketaatannya akan tampak kelihatan dimukanya.
3. Akan dicintai para hamba Allah yang shaleh dan dicintai oleh
semua manusia.
4. Lidahnya akan mampu mengucapkan kata-kata yang mengandung hikmah.
5. Akan dijadikan orang bijaksana, yakni diberi pemahaman dalam agama.

Sedangkan yang empat keutamaan diakhirat, yaitu :
1. Wajahnya berseri ketika bangkit dari kubur di Hari Pembalasan nanti.
2. Akan mendapat keringanan ketika di hisab.
3. Ketika menyebrangi jembatan Shirotol Mustaqim, bisa melakukannya dengan sangat cepat, seperti halilintar yang menyambar.
4. Catatan amalnya diberikan ditangan kanan.
(Bahan (materi) di ambil dari buku “RAHASIA SHALAT SUNNAT” (Bimbingan

Lengkap dan Praktis) Oleh: Abdul Manan bin H. Muhammad S

Sejarah Hari Raya Korban

Hari Raya Aidiladha (bahasa Arab: عيد الأضحى ‘Eid Ul-Adha) atau Hari Raya Haji merupakan perayaan yang dirayakan di seluruh dunia. Ia adalah perayaan terbesar di dalam Islam selain Aidilfitri yang disambut pada setiap 1 Syawal. Aidiladha disambut pada hari ke sepuluh, sebelas, dua belas dan tiga belas bulan Zulhijjah setiap tahun. Bermula dengan Takbir Aidiladha pada malam 10 Zulhijjah, diikuti dengan solat sunat Aidiladha serta khutbah Aidiladha di pagi 10 Zulhijjah, sambutan diikuti dengan ibadah korban yang boleh dilakukan samada pada 10 atau 11 atau 12 atau siang 13 Zulhijjah.


Aidiladha adalah perayaan yang istimewa kerana ia merupakan hari untuk umat Islam memperingati kisah pengorbanan Nabi Ibrahim dalam menunaikan perintah Allah dan ke-sabaran anaknya Nabi Ismail dalam memenuhi perintah Allah s.w.t.

Selain itu, salah satu keistimewaan Aidiladha dan Hari Tasyrik ialah ibadat korban. Ibadat korban ini hanya boleh dilakukan dalam empat hari iaitu bermula waktu selepas khatib menyampaikan khutbah Aidiladha sehingga sebelum tenggelam matahari pada hari ke-13 Zulhijah.

Dari segi bahasa, korban bermaksud dekat, manakala dari segi istilah ia bermaksud menjalankan perintah agama atau taat kepada perintah Allah kerana ingin mendekatkan diri kepada-Nya.

Hari Raya Korban jatuh pada hari kesepuluh pada bulan Zulhijjah, bulan terakhir pada kalender Hijrah Islam. 10 Zulhijjah merupakan tarikh penting dalam sejarah Islam di mana Nabi Adam dan isterinya Hawa dikeluarkan dari syurga dan diturunkan ke bumi sebelum berjumpa di padang Arafah, di luar bandar Mekah.

Pada hari raya, orang Islam disunatkan mengenakan pakaian yang paling cantik, paling bersih, dan juga mengenakan wangi-wangian. Pada pagi hari raya korban, umat Islam akan mengerjakan sembahyang sunat Hari Raya sebanyak 2 rakaat dengan 7 takbir pada rakaat pertama diikuti 5 takbir pada rakaat kedua.

Pada kebiasaannya solat sunat Aidiladha dicepatkan sedikit berbanding solat sunat Aidilfitri. Hikmahnya dicepatkan sedikit waktu solat sunat Aidiladha adalah bagi memberi lebih banyak masa untuk penyembelihan korban. Hikmahnya dilewatkan sedikit solat sunat Aidilfitri pula adalah bagi membenarkan peluang bagi mereka yang belum membayar zakat menunaikan kewajipan mereka dan disunatkan makan dahulu sebelum pergi ke masjid. [1]


Manakala bagi Aidiladha, hikmat disunatkan makan selepasnya supaya makanan yang mula-mula dimakan pada hari itu ialah daging korban yang berkat. Selepas bersembahyang, upacara korban akan dimulakan. Lembu, kambing, dan biri-biri yang dikorbankan akan disembelih secara beramai-ramai di kawasan masjid sebelum dibahagi-bahagikan kepada orang ramai terutamanya kepada golongan fakir miskin.

Hari Raya Aidiladha disambut ketika umat Islam membuat penziarahan ke Mekah, mengunjung Kaabah dan melakukan korban sembelihan. Al-Quran tidak menyatakan, tetapi umat Islam memegang bahawa perayaan korban ini memperingati kesanggupan Nabi Ibrahim untuk menyerahkan anaknya sebagai korban kepada Tuhan.

Selepas sembahyang, sekali lagi umat Islam akan berbondong-bondong melawati perkuburan orang yang disayangi. Semua orang akan memakai pakaian baru dan selepas itu yang muda akan memohon kemaafan daripada yang tua. Selepas itu semua orang akan menjamah pelbagai juadah yang disediakan sebelum ziarah dan menziarahi sesama mereka.
[sunting] Hari Raya Aidiladha dalam hadis

* Berdasarkan kepada hadis (terjemahan) yang diriwayatkan oleh Abu Daud daripada Anas r.a, yang bermaksud: “Rasulullah SAW datang ke Madinah, sedangkan mereka sedang sibuk bergembira selama dua hari. Maka Rasulullah SAW bertanya: Hari apakah yang dua hari ini? Mereka menjawab: Kami biasa bergembira selama dua hari pada zaman Jahiliah: Kemudian Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya Allah SWT telah menggantikannya dengan hari yang lebih baik daripada dua hari itu bagi kamu iaitu Aidilfitri dan Aidiladha.” (Diriwayatkan Imam Abu Daud dan an-Nasai daripada Anas)
* Berdasarkan kepada hadis (terjemahan) “Tiada amal anak Adam yang lebih disukai Allah pada hari Aidiladha melainkan ibadat korban. Sesungguhnya binatang yang dikorbankan itu akan datang pada hari kiamat lengkap dengan tanduk, bulu dan kukunya. Sesungguhnya ibadat korban ini diredhai Allah sebelum darah binatang itu jatuh ke bumi. Maka hendaklah kamu berasa lapang dada dan reda akan ibadat korban yang kamu lakukan.” (Hadis riwayat At-Tirmizi)
* Berdasarkan sebuah hadis (terjemahan) yang telah diriwayatkan oleh Imam Tirmizi dan Al-Hakim yang bermaksud: “Tiada dibuat oleh anak Adam pada Hari Raya Adha akan sesuatu amal yang lebih disukai Allah daripada menumpahkan darah (menyembelih korban). Bahawa korban itu datang pada hari kiamat dengan tanduk-tanduknya, bulu-bulunya dan kuku-kukunya. Sesungguhnya darah korban itu mengambil tempat yang mulia di sisi Allah sebelum darah itu tumpah ke bumi, maka hendaklah kamu buat korban itu dengan hati yang bersih.”
* Berdasarkan sebuah hadis (terjemahan) Ibnu Abbas dan Jabir bin Abdullah Al-Ansariy r.a:

Diriwayatkan daripada Ibnu Juraij katanya: Aku telah diberitahu oleh Ata’ daripada Ibnu Abbas dan Jabir bin Abdullah Al-Ansariy r.a kedua-duanya berkata: Tidak ada azan bagi sembahyang Hari Raya Fitrah (Aidilfitri) dan sembahyang Hari Raya Korban (Aidiladha). Selepas beberapa ketika aku bertanya Ata’ tentang perkara tersebut: Lantas dia menjawab dengan berkata: Aku telah diberitahu oleh Jabir bin Abdullah Al-Ansariy r.a bahawa: Tidak ada azan bagi sembahyang Hari Raya Fitrah (Aidilfitri), baik ketika imam keluar atau sesudahnya. Juga tiada iqamat atau apa-apa pun.[2]

___________________________________________________________________________________________
JOM…. KITA ULANGKAJI CARA SOLAT SUNAT AIDIL ADHA

Solat sunat Aidil Adha hukumnya sunat muakkad ( sunat yang dituntut )

Panduan ringkas:

(1) Takbiratul ihram /Niat solat:

Lafaz niat. ” Sahaja aku solat sunat Aidil Adha dua rakaat kerana Allah Taala” ( untuk solat seorang diri ).

” Sahaja aku solat sunat Aidil adha dua rakaat makmum kerana Allah Taalah” (jika ikut imam).

” Sahaja aku solat sunat Aidil Adha dua rakaat jadi imam kerana Allah Taala” ( jika jadi imam).

Niat ini hendaklah dilakukan semasa takbiratul ihram iaitu sekadar lintasan di hati lafaz tersebut. Untuk memudahkan niat , sebelum takbitratul ihram kita hendaklah membuat lintasan terlebih dahulu di dalam hati akan lafaz niat itu.

(2) Membaca doa iftitah.

(3) Kemudian takbir 7 kali yang diselangselikan dengan tasbih sebanyak 6 kali.

(4) Membaca fatihah dan surah al. Akla.

(5) Rukuk dan sujud seperti biasa.

(6) Iktidal dan berdiri betul ( rakaat kedua ) takbir 5 kali yang diselangselikan dengan tasbih 4 kali.

(7) Membaca fatihah dan surah al.Ghasyiyah.

(8) Rukuk, sujud dan membaca tahiyat akhir seperti biasa.

(9) Memberi salam.

(10) Disunatkan takbir dan doa,

(11) Membaca dua Khutbah. ( sekiranya bersolat secara berjamaah )



Peringatan:

(a) Kalau imam telah berhenti takbir/bertasbih makmum hendaklah berhenti, begitu juga kalau imam terlebih takbir, makmum tidak perlu ikut sebaliknya menunggu.

(b)Takbir Hari Raya Aidil Adha disunatkan mulai malam hari raya (10hb. Zulhijjah ) sehinggalah selepas solat Asar ( 13hb. Zulhijjah ).

(c) Bacaan surah al.Akla dan al.Ghasyiyah boleh diganti dengan surah lain, sekiranya tidak menghafaz ayat tersebut. ( tidak boleh buat semua, jangan tinggal semua )

(d) Orang yang terpaksa bertugas pada hari raya , disyorkan melaksanakan ibadat ini secara bersendirian, jangan biarkan ia berlalu begitu sahaja kerana ibadat ini hanya dapat dilakukan setahun dua kali sahaja. ( Aidil Fitri dan Aidil Adha )

Sekian. Wallahu aklam . Wassalam.

Friday 4 November 2011

Puasa Tarwiyah dan Arafah

Puasa Arafah adalah puasa sunnah yang dilaksanakan pada hari Arafah yakni pada saat diberlangsungkannya wukuf di tanah Arafah tanggal 9 Dzulhijah oleh para jamaah haji. Wukuf di Arafah bisa dikatakan sebagai inti dari pada pelaksanaan ibadah haji. Karena itu puasa Arafah ini sangat dianjurkan bagi orang-orang yang tidak menjalankan ibadah haji. Adapun teknis pelaksanaannya mirip dengan puasa-puasa lainnya.

Keutamaan puasa Arafah ini seperti diriwayatkan dari Abu Qatadah Rahimahullah. Rasulullah SAW bersabda:

صوم يوم عرفة يكفر سنتين ماضية ومستقبلة وصوم يوم عاشوراء يكفر سنة ماضية

Puasa hari Arafah dapat menghapuskan dosa dua tahun yang telah lepas dan akan datang, dan puasa Assyura (tanggal 10 Muharram) menghapuskan dosa setahun yang lepas. (HR. Muslim)

Sementara puasa Tarwiyah dilaksanakan pada hari Tarwiyah yakni pada tanggal 8 Dzulhijjah. Ini didasarkan pada satu redaksi hadits yang artinya bahwa Puasa pada hari Tarwiyah menghapuskan dosa satu tahun, dan puasa pada hari Arafah menghapuskan (dosa) dua tahun.

Hadits mengenai puasa Tarwiyah ini diriwayatkan oleh Imam Dailami di kitabnya Musnad Firdaus (2/248). Namun derajat hadits ini maudhu' (tertolak) karena ada periwayat hadits yang oleh para ahli hadits dianggap pendusta yakni Muhammad bin Saaib Al-Kalby. Sementara ada juga periwayat dalam hadits tersebut yang dinilai majhul alias tidak dikenal, yakni Ali bin Ali Al-Himyari

Para ulama memperbolehkan mengamalkan hadits yang maudlu’ sekalipun sebatas hadits itu dalam diamalkan dalam kerangka fadla'ilul a’mal (untuk memperoleh keutamaan), tidak berkaitan dengan masalah aqidah dan hukum.

Puasa Arafah dan tarwiyah sangat dianjurkan untuk turut merasakan nikmat yang sedang dirasakan oleh para jemaah haji sedang menjalankan ibadah di tanah suci. Hari-hari pada sepersepuluh bulan Dzulhijjah adalah hari-hari yang istimewa. Abnu Abbas r.a meriwayatkan Rasulullah s.a.w bersabda:

ما من أيام العمل الصالح فيها أحب إلى الله من هذه الأيام يعني أيام العشر قالوا: يا رسول الله! ولا الجهاد في سبيل الله؟ قال: ولا الجهاد في سبيل الله إلا رجل خرج بنفسه وماله فلم يرجع من ذلك شيء

Tidak ada perbuatan yang lebih disukai oleh Allah SWT, dari pada perbuatan baik yang dilakukan pada sepuluh hari pertama di bulan Dzulhijjah. Para sahabat bertanya : Ya Rasulullah! walaupun jihad di jalan Allah? Sabda Rasulullah: Walau jihad pada jalan Allah kecuali seorang lelaki yang keluar dengan dirinya dan harta bendanya, kemudian tidak kembali selama-lamanya (menjadi syahid). (HR Bukhari)

Sebagai catatan, jika terjadi perbedaan dalam penentuan awal bulan Dzulhijjah antara pemerintah Arab Saudi dan Indonesia seperti terjadi pada tahun ini (Dzulhijjah 1427 H), dimana Saudi menetapkan Awal Dzulhijjah pada hari Kamis (21 Desember 2006) dan Indonesia menetapkan hari Jum'at (22 Desember 2006) maka untuk umat Islam Indonesia melaksanakan puasa Arafah dan Tarwiyah sesuai dengan ketetapan pemerintah setempat, yakni tanggal 8-9 Dzulhijjah (29-30 Desember 2006). Ini didasarkan pada perbedaan posisi geografis semata.

Tidak disangsikan lagi bahwa puasa adalah jenis amalan yang paling utama, dan yang dipilih Allah untuk diri-Nya. Disebutkan dalam hadist Qudsi: Puasa ini adalah untuk-Ku, dan Aku-lah yang akan membalasnya. Sungguh dia telah meninggalkan syahwat, makanan dan minumannya semata-mata karena Aku.

Diriwayatkan dari Abu Said Al-Khudri, Radhiyallahu 'Anhu, Rasulullah SAW bersabda: Tidaklah seorang hamba berpuasa sehari di jalan Allah melainkan Allah pasti menjauhkan dirinya dengan puasanya itu dari api neraka selama tujuh puluh tahun. (HR Bukhari Muslim).

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More